Kumpulan Cerita Sex Dewasa -
Kita-kita pasti sudah familiar dengan obat-obatan, dan tentunya kita juga punya persediaan obat-obatan di rumah. Misalnya tetrasiklin atau ampisilin untuk sakit gigi...lo?. Promag kalau kembung, CTM kalau lagi gatel-gatel, parasetamol kalau lagi panas, dst.
Tapi pasti deh anda-anda gak tahu kalau penelitian obat mulai dari laboratorium, di uji cobakan pada binatang dan manusia dan baru sampai di “mulut” kita itu sangat menghabiskan tenaga, waktu dan biaya. Pada dasarnya, jika semua proses dilalui, bisa memakan waktu sampai 12 tahun, baru deh obat-obat itu ada di pasaran dan bisa kita nikmati. Prosedurnya memang dijaga ketat untuk keefektifan dan keamanannya.
Apa saja sih yang “dialami obat” sampai akhirnya aman kita konsumsi?
Model Komputer
Perkembangan obat dimulai sebagai suatu proses desain. Target obat di identifikasi dan komputer digunakan untuk menggambarkan struktur molekul yang memiliki aktifitas biologi. Dengan penelitian ini dapat dilihat aksi komponen obat pada sel-sel individu yang berisi target obat.
“Exploratory Development”
Hanya beberapa obat bisa sampai tahap ini. Disini diteliti efek obat terhadap sistem tubuh keseluruhan, bukan hanya meneliti area target organ, menggunakan model komputer, penelitian in-vitro, kemudian pada binatang coba. Akhirnya akan didapat farmakokinetik dan farmakodinamik obat.
In-vitro Trials Based Stem(IPS) Cells.
Menurut Prof.Jamie Thomson dari Universitas Wiscellular Dynamics, “Powerful Stem Cells” yang dibuat dengan cara memprogram ulang jaringan manusia dewasa dapat mengurangi kebutuhan binatang untuk uji coba. “IPS Cells” bahkan terbukti merupakan model laboratorium yang lebih baik dibanding model binatang.
Full Development
Tujuan pada fase ini adalah menemukan lebih lagi bagaimana obat bekerja dan potensinya untuk digunakan. Menggunakan binatang coba dan juga secara in-vitro. Dua pendekatan ini akan saling melengkapi, dimana penelitian in-vitro dapat meberi informasi tentang efek spesifik obat pada target organ, sementara penelitian in-vivo memberi informasi efek obat terhadap keseluruhan sistem tubuh dan interaksi antar organ. Juga diteliti keamanan obat, kemungkinan interaksi obat dan efek samping lain.
Uji Toksikologi
Uji ini dilakukan sebelum obat di ujikan pada manusia. Karena respon tubuh terhadap obat tidak dapat diprediksi, digunakan “range dose” yang diperkirakan berefek pada organ tubuh, bagaimana cara pemberian, berapa sering dan lama obat diberikan, dan seberapa toksiknya obat.
Microdosing
“Microdosis” maksudnya pemberian obat dengan dosis kecil, kurang dari 1/100th komponen dosis aktif, diujikan pada binatang, dan pada sukarelawan di tahap akhir penelitian sebelum uji klinik.Disebut juga fase 0 dari penelitian pada manusia. Uji ini menggunakan teknik canggih, untuk mengetahui lebih lagi soal farmakokinetik dan farmakodinamik obat.
CLINICAL TRIAL
Setelah proses panjang diatas, ternyata belum cukup…..obat harus diujikan dulu pada manusia….hiiii. Tapi kalau kita lagi “bokek”, uang sakunya lumayan lo kalau mau jadi sukarelawan….tapi efek sampingnya musti diterima juga dong. Mangkanya ada persetujuan dulu alias “informed consent” dari sukarelawan, dan tahapan ini dipayungi oleh hukum kok.
Clinical Trial atau Uji Klinik adalah penelitian obat pada manusia, sebagai lanjutan uji binatang dan model. Meskipun kemungkinan efek samping sudah sangat diperkecil, tapi tetap saja ada kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diharapkan.
Percobaan binatang dan pada manusia disebut juga penelitian in-vivo. Sebelum sampai pada Uji Klinik ini tentunya sudah melewati uji laboratorium dan uji binatang, setelah itu peneliti masih harus mengirimkannya ke “Food and Drug Administration(FDA)” untuk mendapat persetujuan untuk diujikan pada manusia.
Uji Klinik terdiri dari 4 fase, masing-masing dirancang untuk bisa menjawab pertanyaan yang berbeda tentang obat baru.
Fase I
Fase ini untuk meneliti bagaimana tubuh bereaksi terhadap obat baru. Dilakukan pada sekelompok sukarelawan dengan jumlah kecil(20-100) dan pada umumnya dibayar. Obat diberikan dalam dosis yang makin meningkat untuk mengetahui “range” keamanan dan efek sampingnya. Aksi obat, metabolismenya, distribusinya dalam tubuh akan tampak, dan bisa dibuat penelitian dengan placebo. Penelitian ini berlangsung beberapa bulan.
Fase II
Fase ini untuk mengetahui keefektifan dan keamanan obat dalam grup lebih besar(100-300). Sukarelawan harus betul-betul sehat sehingga efek samping obat dalam jangka pendek akan terlihat. Dikerjakan secara random, dan sering “blinded”. Berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun.
Fase III
Penelitian dilakukan secara random dan buta, dengan jumlah pasien beberapa ratus sampai beberapa ribu pasien. Berlangsung beberapa tahun, dilakukan oleh perusahaan farmasi dan FDA, diteliti keefektifan obat, keuntungan dan kemungkinan efek samping. Jika fase ini dapat dilewati, perusahaan obat dapat meminta persetujuan FDA untuk memasarkan obat.
Fase IV
Sering disebut Penelitian Surveilans Paska Pemasaran, setelah obat dipasarkan. Keuntungannya adalah, dapat membandingkan khasiatnya dengan obat yang sudah ada di pasaran, dapat memonitor keefektifan obat dalam jangka lama, mengetahui cost-effectiveness dibanding obat tradisional lain. Efek samping yang jarang sering ditemukan pada fase ini.
Setelah semua uji-uji itu dilalui…..baru deh obat beredar di pasaran. Puyeng ya…..tapi kan emang lebih baik mengorbankan tikus yang imut-imut daripada kite-kite yang jadi korban?.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah obat-obat alternatif diluar medis juga melewati proses yang sama?. Bagaimana keamanannya?. Misalnya jamu-jamuan, apakah “raw-material” nya tidak terlalu banyak sehingga memberatkan kerja liver – mengingat obat adalah komponen yang sudah diekstraksi sehingga didapat bahan aktif murni dalam dosis kecil – yang sudah tentu tidak terganggu oleh “raw-material” nya?.
sumber : http://trensehat.com